KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL
KAITANNYA DENGAN HUTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH DAERAH OTONOM
Oleh:
Bachrul Elmi1
Abstraksi
Keterbatasan
sumber pembiayaan dalam negeri yang berasal dari pemerintah pusat, dihadapkan
pada semakin meningkatnya kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah, memberikan
peluang bagi pemerintah daerah untuk mencari alternatif sumber-sumber untuk
memperoleh hutang jangka panjang dari luar negeri dan sumber hutang dalam
negeri non pemerintah.
Selain
persoalan hutang tersebut diatas, pekerjaan mendesak yang perlu diselesaikan
saat ini adalah bagaimana memanfaatkan dana (outstanding loan) yang
masih berada pada lembaga-lembaga keuangan antara lain IBRD dan ADB yang belum
sempat di reimburse karena diberlakukan Undang-undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Kiranya adalah bijaksana apabila pemerintah (Dept. Keuangan)
dan Pemda segera mengambil sikap tegas dan strategis agar outstanding loan
tersebut memberi manfaat dan tidak malah menjadi beban APBN karena harus
membayar fee tiap tahun.
I. Pendahuluan
Kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah yang mulai dilaksanakan sejak tahun anggaran 2000 merupakan peluang bagi
pemerintah daerah di Indonesia untuk melaksanakan serta membiayai sendiri
kemajuan pembangunan di daerahnya masing-masing. Sesuai dengan hasil penelitian
serta evaluasi terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah
Daerah (APBD) tahun 2001 dan 2002, hanya beberapa daerah yang tergolong kaya
yang mampu membiayai sendiri proyek-proyek pembangunannya seperti Propinsi
Riau, Kabupaten Bengkalis, Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Kalimantan
Selatan.
Secara umum daerah-daerah lainnya
antara lain Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi Bengkulu masih sangat
tergantung pada kucuran dana alokasi umum dari pemerintah pusat. Pada sisi lain,
APBD daerah-daerah itu sebagian besar yaitu sekitar 60 persen sampai 80 persen
habis untuk membayar gaji pegawai daerah. Sementara itu untuk membiayai
pembangunan prasarana perekonomian yang dapat menghasilkan penerimaan
berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, pemerintah daerah diperkenankan
mendapatkan sumber pembiayaan yang berasal dari pinjaman dalam negeri atau
pinjaman luar negeri. Sebelum implementasi otonomi daerah di awal tahun 2001,
jumlah outstanding pinjaman pemerintah daerah pada 31 Desember 2000
mencapai Rp4.180 miliar yang disalurkan melalui Rekening Dana Investasi (RDI),
Rekening Pembangunan Daerah (RPD) dan penerusan pinjaman (Subsidiary Loan).
Pada sisi pengembalian pinjaman
pemerintah daerah selama periode tahun 1997 sampai dengan 1999 presentase
tunggakan pinjaman (default) telah terjadi peningkatan dari 38 persen
menjadi 42 persen. Sementara itu, perubahan kebijakan sentralisasi ke
desentralisasi dan otonomi daerah, proyek pembangunan yang sebelumnya menjadi
wewenang dan tanggung jawab departemen-departemen (sektoral), beralih menjadi
tugas dan wewenang pemerintah daerah. Departemen-departemen tersebut seharusnya
sudah menyerahkan kepengurusan dana dan penyelesaian proyek-proyek sektoral itu
kepada kantor-kantor dinas daerah propinsi maupun yang ada di kabupaten/kota,
termasuk pula proyek-proyek yang dibangun dengan dana pinjaman luar negeri.
Fenomena pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah pada tahun fiskal 2001 dan tahun 2002 sebagian dari pemerintah
daerah merasa berkeberatan atau bahkan belum bersedia menerima tanggung jawab
dan penyelesaian proyek-proyek sektoral seperti pembangunan dan pemeliharaan
jalan, irigasi dan lain-lain. Hal itu berakibat tertundanya penyelesaian
proyek-proyek tersebut sedangkan dana pinjaman luar negeri yang sedianya sudah
dapat dimanfaatkan belum sempat dire-emburse. Dalam situasi demikian,
pihak lender mengenakan charge yang akan membebani APBN.
II. Landasan Teori
2.1
Desentralisasi sebagai Suatu Konsep
Secara harfiah kata desentralisasi adalah
lawan dari kata sentralisasi yang dapat diartikan sebagai suatu pemusatan (adjective)
berkaitan dengan suatu kewenangan (authority) pemerintahan, lalu ada
istilah misalnya kantor pusat, pemerintah pusat dan sebagainya. Desentralisasi
mengenai kewenangan pemerintahan menyangkut berbagai aspek misalnya bidang
politik, urusan pemerintahan, sosial dan pembangunan ekonomi dan aspek fiskal.
Dengan demikian lalu ada beberapa konsep seperti:2
·
Administrative decentralization
·
Political decentralization
·
Economic or market decentralization
·
Fiscal decentralization
Selanjutnya desentralisasi
administratif adalah pelimpahan sebagian wewenang dan pertanggung jawaban
dibarengi dengan pemberian wewenang untuk mengelola sumber-sumber keuangan
untuk membiayai kegiatan operasional dan penyediaan pelayanan publik (public
service). Pelimpahan wewenang tersebut berkaitan dengan fungsi-fungsi
manajemen urusan pemerintahan dan bidang keuangan (financial management)
dari pemerintah pusat kepada pemerintahan di daerah (local government).
Dalam sistem desentralisasi administratif yang terjadi di Indonesia terdapat
tiga bentuk yaitu ;
·
Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang
pemerintah pusat kepada kantor-kantor departemen yang ada didaerah artinya
pelaksanaan kegiatan yang menjadi urusan departemen disuatu daerah.
·
Desentralisasi atau Otonomi, yaitu
pelimpahan wewenang yang lebih luas dari departemen kepada pemerintah lokal dan
didukung dengan dana. Jadi secara tegas ada tugas kegiatan dan biayanya (budget).
·
Bantuan (medebewind), yaitu
pelaksanaan urusan atau kegiatan tertentu oleh daerah yang memperoleh
pelimpahan wewenang dan pembiayaan dari pusat, namun decision terakhir
berada pada pihak pemberi wewenang.
2.2
Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan salah
satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan
negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal
sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktifitas perekonomian
masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan
menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan
besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom.
Desentralisasi
fiskal juga merupakan salah satu “pilar” dalam memelihara kestabilan kondisi
ekonomi nasional, karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong
aktifitas perekonomian masyarakat didaerah. Desentralisasi fiskal tersebut
dikelompokkan pada ;
a.
Dana perimbangan keuangan pusat dan daerah,
dengan maksud menciptakan keadilan dan pemerataan serta memperkecil kesenjangan
fiskal antar daerah. Dana perimbangan itu berasal dari penerimaan dalam negeri
yang diperoleh dari pendapatan perpajakan, royalti dan bagi hasil SDA
b.
Dana yang bersumber dari hutang dalam negeri
dan luar negeri yang disalurkan ke daerah (subsidiary loan) baik dari
hutang bilateral maupun multilateral.
2.3
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di
Indonesia
Secara umum tujuan pemerintah pusat
melakukan transfer dana kepada pemerintah daerah adalah:
·
Sebagai tindakan nyata untuk mengurangi
ketimpangan pembagian "kue nasional", baik vertikal maupun
horisontal.
·
Suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi
pengeluaran pemerintah dengan menyerahkan sebagian kewenangan dibidang
pengelolaan Keuangan Negara dan agar manfaat yang dihasilkan dapat dinikmati
oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi
fiskal tahun anggaran 2001 yaitu telah ditransfer dana APBN sebesar Rp 81,67
Triliun yaitu 5,7% dari PDB, padahal pada tahun anggaran 2000 jumlah dana yang
ditransfer ke dalam APBD melalui dana perimbangan berjumlah Rp 33,5 Triliun
yaitu 7,0% dari PDB. Kemudian dalam APBN tahun anggaran 2002 transfer dana
melalui dana perimbangan akan berjumlah sebesar Rp 94,53 Triliun yaitu 5,6%
dari PDB.3
Sejalan dengan peningkatan transfer
dana dari pemerintah pusat ke Pemda yang besaran jumlahnya cukup signifikan
melalui dana perimbangan, telah memperkecil tanggung jawab pengelolaan keuangan
pemerintah pusat secara umum. Sebaliknya proporsi dana yang menjadi bagian
dalam APBD merupakan tanggung jawab Pemda telah meningkat semakin tajam.
2.4
Hutang Pemerintah Daerah
Menurut Undang-undang No. 25 Tahun
1999, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Pemerintah Daerah (Pemda),
diperbolehkan melakukan pinjaman langsung kepada lembaga keuangan di dalam
negeri dan lembaga pemberi pinjaman di luar negeri. Hutang pemerintah daerah
(Pemda), adalah semua transaksi yang mengakibatkan Pemda menerima dari pihak
lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga Pemda yang bersangkutan
dibebani kewajiban untuk membayar kembali jumlah uang dalam jangka waktu
tertentu kepada pihak lender. Hutang Pemda yang bersumber dari dalam
negeri dan hutang luar negeri yang diteruskan ke pemerintah daerah melalui
perjanjian subsidiary loan (SLA).
Latar belakang pemikiran pemberian
pinjaman atau utang kepada Pemda muncul sekitar tahun 1980-an dengan maksud
memberikan bantuan untuk pemerataan dan percepatan pembangunan daerah.
Pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Keuangan telah mengadopsi sistem
kerja kelembagaan dinegara lain semacam Public Work Loan Board atau Municipal
Credit Bank atau Credit Froncier, yang ada di Eropa. Mengenai modal
yang dimiliki oleh ketiga bentuk lembaga tersebut berasal dari pemerintah pusat
atau pemerintah daerah dan ada yang sebagian besar berasal dari pihak swasta.4
Karena pemerintah menyadari bahwa ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah
antara lain disebabkan oleh kekurangan dana yang dimiliki oleh Pemda untuk
membiayai pembangunan berbagai sarana seperti air bersih, terminal, pasar, dan
rumah sakit. Kini hasil dari pembangunan tersebut telah dinikmati oleh sebagian
besar masyarakat mulai Kabupaten Aceh Barat sampai ke Kota Jayapura.
Sementara itu ada yang berpendapat
bahwa hutang adalah pengalihan sumber daya masa depan yang mungkin akan menjadi
warisan generasi mendatang, namun dapat dimanfaatkan untuk kepentingan saat
ini. Oleh karena itu pengguanaan dana yang berasal dari hutang oleh generasi
sekarang harus dilakukan dengan penuh pertanggungjawaban. Sejalan dengan
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, akan menimbulkan konsekuensi bahwa hasil
proyek yang dibiayai dari hutang luar negeri dan tanggung jawab pembayaran
kembali kewajiban hutang menjadi ownership dan tanggung jawab Pemda
untuk menyelesaikannya. Artinya pemerintah daerah harus melakukan partisipasi
aktif terhadap peluang pemanfaatan hutang luar negeri dengan cara memberikan kepastian komitmen dan
kontribusi kepada pemerintah pusat, sehingga terhindar dari beban penyediaan
rupiah pendamping, gejolak nilai tukar rupiah dan kewajiban pembayaran kembali
hutang luar negeri. Selain hal tersebut di atas saat ini pihak lender belum
bersedia memberikan hutang langsung kepada Pemda karena terlebih dahulu harus
ada jaminan dan persetujuan pemerintah pusat.5
Sementara itu sebagian Pemda kabupaten
dan kota belum mampu membiayai investasi (capital investment) karena
sekitar 80 persen dana APBD dipakai untuk membayar keperluan rutin seperti gaji
pegawai, nonpegawai dan pemelihraan prasarana operasional perkantoran. Pada
sisi lainnya, beberapa daerah dengan kondisi APBD yang pas-pasan itu menanggung
beban utang cukup besar jumlahnya yang berasal dari pinjaman kepada pemerintah
pusat maupun pinjaman luar negeri yang diteruskan kepada daerah (SLA).
Jumlah outstanding hutang Pemda
posisi Per 31 Desember 2000 yang tercantum pada rekening pembangunan daerah
(RPD) sebagai penerusan pinjaman dan pada rekening dana investasi (RDI)
masing-masing mencapai berjumlah Rp96.549,75 juta dan sebesar Rp2.425.329,4
juta.6
2.5
Permasalahan Hutang Luar Negeri Pemda
Permasalahan hutang Pemda mulai ramai
diperbincangkan sejak dilaksanakan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan
Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejak efektifnya pelaksanaan kedua
undang-undang tersebut, maka urusan pemerintahan dan pengelolaan keuangan
daerah yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat beralih menjadi kewenangan dan
tanggung jawab Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Dalam hal ini termasuk
hutang-hutang luar negeri yang dilakukan oleh beberapa departemen pemerintahan
untuk membiayai pembangunan proyek-proyek didaerah. Pada saat dimulai
pelaksanaan otonomi daerah dimaksud masih terdapat proyek-proyek yang belum
selesai dikerjakan, dan masih banyak dana pinjaman yang belum direimbursement.7
Menurut informasi pihak
Pemda, merasa berkeberatan menerima hutang-hutang luar negri dan tidak bersedia
menindaklanjuti pekerjaan penyelesaian proyek-proyek tersebut. Pihak Pemda itu
berargumentasi bahwa hutang dan proyek-proyek tersebut adalah menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat. Sementara itu pihak lender bersikap tidak mau
tahu terhadap kondisi di Indonesia yang masih pada tahap awal pelaksanaan
otonomi daerah. Pihak lender membebani “biaya keterlambatan penarikan
pinjaman” (commitment charge) terhadap dana loan yang belum
digunakan.
Pihak lender tidak bersedia
mengalihkan dana outstanding tersebut pada proyek atau kedaerah yang
lain karena tidak sesuai dengan perjanjian yang sudah berjalan. Dilain pihak
untuk merubah surat perjanjian itu akan memerlukan waktu agak lama. Dengan
keadaan demikian pemerintah tidak dapat menarik dan menggunakan dana pinjaman
tersebut namun menanggung pembayaran charge yang membebani APBN.
III. Kriteria dan Prosedur Hutang Luar Negeri Pemda
3.1
Kriteria Hutang
Sebagai prinsip pemanfaatan dana yang
berasal dari utang adalah penting untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama: dana yang diperoleh dari
utang agar dimanfaatkan untuk membiayai investasi pada usaha yang produktif,
misalnya untuk membangun pabrik pengolahan minyak sawit, pabrik gula, tapioka
dsb. Yaitu investasi modal pada sektor yang produktif, memberikan nilai tambah
terhadap output yang dihasilkan, dan yang penting bagi daerah yaitu membuka
lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal.
Kedua: dana yang berasal dari
hutang agar diinvestasikan pada sektor yang bersifat “income generating
loan”, artinya investasi untuk membangun proyek yang menaikkan pendapatan
daerah misal sektor pariwisata daerah. Maksudnya supaya pembayaran hutang
proyek, tidak membebani APBD.
Ketiga: untuk membiayai
proyek-proyek yang bersifat “cost recovery” yaitu sangat menitikberatkan
pada tujuan social ekonomisnya sebaiknya dikategorikan ke dalam publik
investment proyek agar pembangunannya menggunakan dana hibah (grant).
Keempat: secara tradisional
pertumbuhan ekonomi mesti didukung oleh ketersediaan jumlah dana investasi yang
memadai, dimana sumber dana investasi itu berasal dari public saving.
Dalam hal terdapat gap antara kebutuhan dana investasi dengan tabungan
masyarakat, maka perlu dicarikan sumber pembiayaan luar negeri sehingga dapat
menutup kekurangan biaya investasi yang bersangkutan.
Kelima: Penggunaan sumber dana
yang berasal dari hutang luar negeri oleh Pemda harus dirancang berdasarkan
peraturan daerah secara hati-hati dan bertanggung jawab agar pembayaran hutang
tidak menjadi beban generasi yang akan datang.
Keenam: Sebagaimana diatur dalam
PP No. 107 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 675/KMK.01 Tahun 2001
tentang Pinjaman Daerah, yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas desentralisasi
pemerintah daerah, Pemda diperbolehkan melakukan hutang, baik yang bersumber
dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Namun sampai dengan akhir tahun
anggaran 2002 Pemda belum diperbolehkan
mengadakan hutang yang baru.
3.2
Prosedur Hutang Pemda
Untuk dapat menjamin efisiensi dan
efektifitas dari pinjaman tersebut, perlu disusun sebuah mekanisme perencanaan
pinjaman daerah sesuai dengan visi dan tujuan jangka panjang daerah yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga dalam
proses perencanaan ini terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi daerah
agar mendapatkan persetujuan Pemerintah Pusat untuk memperoleh pinjaman luar
negeri.
Tahapan pertama yang harus dilaksanakan
oleh Pemerintah Daerah adalah melaksanakan Good Governance. Untuk itu
Pemerintah Daerah hendaknya melaksanakan prinsip-prinsip transparansi,
akuntabilitas dan partisipasi dalam pelaksanaan roda pemerintahan. Ketiga
prinsip tersebut harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam segala bidang
pemerintahan, baik meliputi perencanaan daerah, alokasi keuangan dan penggunaan
keuangan daerah, maupun transparansi dalam pelaksanaan setiap program
Pemerintah Daerah. Nilai-nilai transparansi ini hendaknya dapat disepakati
dalam bentuk Peraturan Daerah yang disepakati oleh semua stakeholders di
daerah.
Untuk dapat mencapai kesepakatn
tersebut, perlu mekanisme proses interaksi antara pemerintah, DPRD, dan stakeholders
dimasyarakat. Interaksi ini diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan bersama
mengenai visi, misi, dan tujuan daerah, serta langkah-langkah yang harus
disepakati bersama dalam bentuk peraturan daerah, maupun prioritas-prioritas
pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.
Setelah tercipta kesepakatan tersebut,
Pemerintah Daerah harus melakukan perbaikan-perbaikan baik dalam bidang
kebijakan dan sistem pemerintahan, maupun pelayanan masyarakat sesuai dengan
prinsip-prinsip Good Governance sehingga tercipta kondisi daerah yang
kondusif bagi pengelolaan keuangan daerah dan investasi publik. Dengan demikian
sumber keuangan daerah yang diperoleh melalui pinjaman luar negeri tersebut
dapat dikelola secara efisien dan efektif.
Melalui mekanisme interaksi antara
Pemerintah Daerah, DPRD, dan stakeholders, maka Pemerintah Daerah
kemudian akan mengajukan proposal pinjaman luar negeri kepada pemerintah pusat
yang berisi jenis pinjaman, tujuan dan sasaran pinjaman, studi kelayakan
terhadap program yang akan didanai, transparansi pengelolaan keuangannya, serta
analisa terhadap kemampuan keuangan daerah dalam mengembalikan dana pinjaman
tersebut.
Sebelum
mengajukan proposal pinjaman daerah, pemerintah daerah wajib melakukan
koordinasi vertikal ke pemerintah propinsi dan horisontal pemerintah
daerah di sekitarnya. Koordinasi ini
bertujuan untuk mensinergiskan pembangunan antar daerah dan wilayah, sehingga
diharapkan dapat menjadi rajutan dalam mencapai Pembangunan Nasional secara
keseluruhan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
107 Tahun 2002, Pemerintah Pusat bertanggung jawab untuk menjamin daerah dalam
menanggung pinjaman luar negeri apabila daerah tersebut tidak mampu untuk
membayar hutangnya. Oleh sebab itu Pemerintah Pusat berwewenang untuk
memastikan apakah daerah telah berhasil melaksanakan perbaikan-perbaikan
tersebut. Apabila perbaikan tersebut masih diangggap kurang untuk dapat
menghasilkan kondisi yang kondusif di daerah bagi penegelolaan keuangan daerah
dan investasi publik, maka Pemerintah Pusat berhak untuk memberikan rekomendasi
yang yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh tambahan dana melalui pinjaman luar negeri.
Apabila perbaikan tersebut sudah dapat
menghasilkan suatu kondisi yang kondusif bagi pengelolaan keuangan daerah dan
investasi publik, maka Pemerintah Pusat akan memberikan kesempatan kepada
daerah untuk mengajukan proposal pinjaman luar negri yang akan mendanai
kegiatan dan program Pemerintah Daerah, baik yang bersifat jangka pendek, maupun jangka
panjang.
Menanggapi ajuan proposal pinjaman luar
negeri Pemerintah Daerah, pemerintah akan melakukan analisa mengenai studi
kelayakan dan kemampuan keuangan daerah. Analisa ini akan menentukan jumlah
pinjaman optimal dan jenis pinjaman yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah.
Apabila telah terjadi kesepakatan
antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam penentuan jenis dan jumlah
pinjaman, maka Pemerintah Pusat akan mengajukan pinjaman luar negeri kepada
lembaga donor.
IV.Analisa Hutang Daerah
Salah satu issue penting
mengenai hutang Pemda yaitu pengukuran kemampuan daerah untuk meminjam dan
kemampuannya untuk membayar Hutang (repayment capacity).
4.1
Kapasitas Meminjam
Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No.
107 Tahun 2000, untuk melakukan pinjaman jangka panjang (jangka waktu lebih
dari satu tahun anggaran) Daerah harus memenuhi ketentuan sbb:
a.
Jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang
wajib dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah Penerimaan Umum APBD tahun
sebelumnya;
PU= PD - (DAK + DD + DP + PL)
dimana;
PU = Penerimaan Umum
PD = Jumlah Penerimaan Daerah
DAK = Dana Alokasi Khusus
DD = Dana Darurat
DP = Dana Pinjaman
PL = Penerimaan Lain
b. APBD
beberapa daerah memperlihatkan keadaan sbb:
Pemda propinsi Sulawesi Selatan
|
|
Total
Pendapatan Daerah
|
622.544,1
|
·
Utang Pemda Tk. I
|
250,0
|
·
Penerimaan Umum (PU)
|
622.294,1
|
·
Kapasitas Meminjam
|
466.720,5
|
|
|
Pemda propinsi Kalimantan
Selatan
|
|
Total
Pendapatan Daerah
|
463.132,2
|
·
Utang
|
18.950,0
|
·
Penerimaan Umum
|
444.182,2
|
·
Kapasitas Meminjam
|
333.136,6
|
|
|
Pemda propinsi Riau
|
|
Total
Pendapatan Daerah
|
346.266,9
|
·
DAK
|
1.632,0
|
·
Utang
|
400,0
|
·
Penerimaan Umum
|
258.146,1
|
·
Kapasitas Meminjam
|
193.609,5
|
|
|
Pemda kabupaten Bengkalis
|
|
Total
Pendapatan Daerah
|
1.030.159,0
|
·
Utang
|
0
|
·
Kapasitas Meminjam
|
772.619,3
|
4.2
Ratio Kemampuan Membayar Utang (Debt
Service)
Ditentukan bahwa dalam persyaratan membayar utang,
kemampuan daerah harus paling sedikit 2,5 kali jumlah seluruh pendapatan
dikurangi dengan belanja dan biaya-biaya yang wajib dikeluarkan atau
diprioritaskan oleh Pemda, misalnya gaji pegawai, cicilan utang dan bunganya.
Kemampuan daerah dimaksud adalah;
PAD + Dana Perimbangan minus DAK
dikurangi gaji pegawai dibagi kewajiban pembayaran utang serta biaya bunga dan commitment
fee.
Artinya bagi daerah yang membutuhkan
utang 100 juta, dipersyaratkan sekurang-kurangnya memiliki pendapatan bersih
sebesar 250 juta. Dengan demikian kemungkinan posisi keempat daerah sample
tersebut mendapatkan jumlah maksimum utang adalah;
·
Propinsi Sulawesi Selatan Rp. 165.159,5
·
Propinsi Kalimantan Selatan Rp. 120.312,7
·
Propinsi Riau Rp.
26.105,2
·
Kabupaten Bengkalis Rp. 269.386,1
4.3
Kapasitas Fiskal Daerah Tahun 2001
Daya dukung kapasitas Fiskal keempat
daerah tersebut di atas relatif baik antara lain karena perolehan PAD dan
Transfer Fiskal dari Pemerintah Pusat cukup besar jumlahnya;
Transfer Fiskal
Pemerintah Pusat
T.A 2001
No
|
Penerimaan
|
Prop. Sulsel
|
Prop. Kalsel
|
Prop. Riau
|
Kab. Bengkalis
|
1
2
3
|
PAD
Dana Perimbangan
Bel. Pegawai
|
200.553,1
323.892,3
53.821,6
|
130.702,3
259.216,6
32.354,8
|
37.615,5
302.391,5
128.391,6
|
25.266,6
951.053
99.154,0
|
|
%Bel. Pegawai
|
16,6
|
12,5
|
42,5
|
10,4
|
Dengan demikian
keempat daerah itu secara finansial memiliki kapasitas untuk berutang.
4.4
Outstanding
Utang Daerah
Total Outstanding Utang Pemda
dan BUMD per 31 Desember tahun 2000 memperlihatkan komposisi sbb;
Outstanding Utang
Daerah
Per 31 Desember 2000
(juta Rp)
RDI
|
332.761,7
|
SLA
|
2.425.329,4
|
RPD
|
1.326.244,4
|
SLA
|
9.654,8
|
Total
|
4.180.905,6
|
Pada kedua Rekening tersebut terdapat beban hutang Pemda
yaitu 33,6 % pada RDI dan 44,5 % pada RDP, selebihnya adalah beban hutang BUMD.
Ø Dalam
rangka kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, sebagian besar fungsi
Pemerintahan, termasuk pembangunan prasarana dan sarana pelayanan publik (public
services) sudah menjadi kewenangan dan tangungjawab Pemda. Penyediaan
sarana pelayanan itu disamping untuk kebutuhan masyarakat lokal, tetapi juga
sangat diperlukan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah.
Ø Utang
Daerah, dalam kerangka hubungan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah
merupakan salah satu sumber penerimaan daerah berkaitan dengan pelaksanaan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Utang diperlikan apabila dinilai
bahwa sumber-sumber penerimaan yang ada "tidak mencukupi" untuk
membiayai belanja investasi (capital investment) dan hasilnya akan
menambah jumlah aset daerah.
Ø Utang
Daerah yang bersumber dari luar negeri yang berlaku selama ini menggunakan
mekanisme subsidiary loan agreement (SLA) yang di dalamnya mendapat
subsidi yang jumlahnya cukup signifikan berupa;
-
Tingkat bunga di bawah tingkat perbankan,
-
Jangka dan tenggang waktu pinjaman lebih
panjang
Ø Pada
sisi pengembalian pinjaman, mekanisme tersebut di atas ternyata tidak menjamin
pengelolaan utang daerah secara benar, hal itu terlihat dari tingginya
persentase tunggakan utang (default) Pemda dan BUMD.
Tahun
|
Default
|
1997
1999
|
38
%
42
%
|
Ø Kebijakan
pengelolaan utang dengan mekanisme SLA ternyata tidak efektif dalam
menggerakkan pembangunan di daerah, tidak mendewasakan daerah dan malahan denda
yang dikenakan oleh pihak lender atas on landing utang daerah
saat ini menjadi beban pemerintah pusat (APBN).
Outstanding Utang Daerah
Per 31 Desember 2001
Daerah
|
SLA yang
diteruskan kepada PDAM
|
SLA yang
diteruskan kepada PEMDA
|
||
18
|
20
|
18
|
20
|
|
Daerah Istimewa
Aceh
|
6.181,23
|
5.281,15
|
302,84
|
0,00
|
Prop. Sumatera
Utara
|
106.233,47
|
49,07
|
61.950,74
|
0,00
|
Prop. Sumatera
Barat
|
26.357,93
|
517,67
|
5.915,34
|
1.563,71
|
Prop. Riau
|
2.117,31
|
0,76
|
1.322,68
|
301,51
|
Prop. Jambi
|
638,28
|
12.296,72
|
1.301,15
|
1.035,39
|
Prop. Sumatera
Selatan
|
120.749,89
|
143.591,15
|
28.536,77
|
11.842,31
|
Prop. Bengkulu
|
22.406,27
|
57.301,38
|
949,40
|
0,00
|
Prop. Lampung
|
19.135,38
|
0,00
|
6.850,09
|
0,00
|
DKI Jakarta
|
628.599,87
|
0,00
|
502.303,06
|
101.351,95
|
Prop. Jawa Barat
|
391.953,26
|
52.988,60
|
58.242,38
|
83,09
|
Prop. Jawa Tengah
|
203.472,55
|
266.336,11
|
121.594,69
|
35.521,88
|
DI Jogjakarta
|
2.092,20
|
93,11
|
11.630,13
|
0,00
|
Prop. Jawa Timur
|
337.257,98
|
957.957,87
|
176.718,61
|
577.519,98
|
Prop. Kalimantan
Barat
|
29.201,26
|
18.826,84
|
11.643,47
|
4.601,09
|
Prop. Kalimantan
Tengah
|
5.016,11
|
20.346,73
|
3.601,58
|
11.089,45
|
Prop. Kalimantan
Selatan
|
34.803,77
|
0,00
|
14.280,92
|
251,15
|
Prop. Kalimantan
Timur
|
11.612,80
|
27.496,85
|
6.216,47
|
13.500,20
|
Prop. Kalimantan
Barat
|
12.444,60
|
15.869,97
|
10.404,05
|
10.357,90
|
Prop. Sulawesi
Selatan
|
124.977,79
|
18.204,34
|
31.922,91
|
47.349,58
|
Prop. Bali
|
27.289,25
|
118,59
|
914,43
|
0,00
|
Prop. NTB
|
4.380,95
|
1.372,58
|
-
|
-
|
Prop. NTT
|
3.663,53
|
10.310,81
|
-
|
-
|
Jumlah Sektor
Dalam Negeri PDAM
|
2.120.575,68
|
1.608.960,29
|
Jumlah PEMDA
1.056.601,71
|
816.369,2
|
|
|
|
Jumlah Sektor
Dalam Negeri (RDI)
3.197.722,56
|
2.425.329,48
|
Sumber:
Ditjen. Lembaga Keuangan
V. Penutup
Untuk sebagian proyek-proyek daerah
yang dibiayai dari utang luar negeri seperti sarana dan prasarana air bersih,
terminal angkutan darat, kebersihan dan drainase kota telah memberikan manfaat
kepada masyarakat di daerah, akan tetapi dalam pengelolaan utang luar negeri
dan dalam negeri, daerah belum menunjukkan kinerja yang lebih baik, hal ini
terbukti dari tingginya jumlah tunggakan utang (default) dan out
standing utang luar negeri yang semestinya dapat dimanfaatkan oleh daerah,
telah menimbulkan "despute" dan beban denda oleh pihak lender.
Kemungkinan penyelesaian permasalahan outstanding utang
dengan menempuh alternatif;
a)
Mengalihkan lokasi proyek ke daerah yang
bersedia menerima tanggung jawab persyaratan-persyaratan utang kepada pihak lender,
melalui kesepakatan dengan Pemerintah Pusat.
b)
Pemerintah Pusat mengambil inisiatif
pembatalan loan agreement dengan pihak lender, ketimbang
memperpanjang status quo, dimana dana loan tidak dimanfaatkan
oleh Pemda, akan tetapi Pemerintah menanggung beban charge.
c)
Ke depan perlu dipertimbangkan:
·
Ada suatu institusi yang menangani
penyaluran dana untuk Pemda secara khusus.
·
Institusi tersebut bisa dimiliki Pemerintah,
bisa swasta (tapi diatur Pemerintah).
·
Contoh yang sudah ada di negara lain adalah municipal
development bank dan municipal development fund.
·
Perlu pemikiran mengenai jaminan pinjaman
dari institusi seperti ini (masih perlu campur tangan Pemerintah Pusat).
·
Pemda diharapkan lebih berperan dalam penentuan
proyek-proyek yang diajukan untuk
mendapatka pinjaman LN.
·
Difokuskan pada proyek yang memberikan
benefit sosial jangka pendek dan panjang, terutama proyek infrastruktur.
·
Proyek yang diprioritaskan diharapkan
sejalan dengan konsep perencanaan nasional.
·
Mengurangi resiko nilai tukar dengan
mekanisme yang ada (hedging).
VI. Daftar Pustaka
Bachrul
Elmi 2002, Keuangan Pemerintah Daerah Otonomi di Indonesia, UI Press.
Binder,
Brian, 1985, Central - Local Financial relation Review for The GOI, Summary
of Study Report - DAG - ILGS - Unversity Birmingham.
Davey,
KJ 1983 Financing Regional Government, John Weley I Sons, Chicester, UK.
Kep.
Menteri Keuangan RI No.3470/KMK. 071/2000 Tentang Pengelolaan RPD.
Nasution
M.P, 2002, Reformasi Manajemen Keuangan Daerah, makalah Seminar Kebijakan
Desentralisasi Fiskal, Jakarta, 21 Maret 2002.
Nota
Keuangan dan RAPBN T.A 2002.
Osborne,
David, 1996, Reinventing Government, How the Enterpreneural Spirit is
Transforming the Public Sector, CV. Taruna Grafika, Jakarta.
PP
No. 107 tahun 2000, Tentang Pinajman Daerah.
The
World Bank,
2000, Indonesia Managing Government Debt and It's Risk, Report
No. 20436. IND.
The
World Bank,
2000, Indonesia Accelerating Recovery In Uncertain Times, Brief for
the CGI, No. 20991. IND.
1 Peneliti Muda pada Pusat Statistik
dan Penelitian Keuangan, BAF, Departemen Keuangan RI.
2 Machfud Sidik, 2002 Desentralisasi
Fiskal, studi kasus DAU, DAK dan DANA PENYEIMBANG, paper yang dipresentasikan
pada Seminar Nasional "Kebijakan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, Maret 2002, di Hotel Borobudur.
3 Nota Keuangan, 2003.
4 Bachrul Elmi, Kajian Ekonomi dan
Keuangan, tahun 2002 Vol.6 hal.67.
5 Sesuai dengan kondisi APBN saat ini,
untuk sementara Pemda belum diizinkan melakukan pinjaman ke pusat atau ke luar
negeri.
6
Ditjen. Lembaga Keuangan, 2002, Rekapitulasi SLA, Outstanding Loan.
7
Sebagai contoh “Proyek Jalan Raya” yang dibiayai dari pinjaman APBD,
world Bank mencapai 3 miliar US $, baru sebagian selesai dibangun (fisik 20% -
80%) semestinya diambil alilh (dilanjutkan) oleh Pemda.
- 6:14:00 PM
- 0 Comments