KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL KAITANNYA DENGAN HUTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH DAERAH OTONOM

6:14:00 PM

KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL KAITANNYA DENGAN HUTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH DAERAH OTONOM

Oleh:
Bachrul Elmi1

Abstraksi


Keterbatasan sumber pembiayaan dalam negeri yang berasal dari pemerintah pusat, dihadapkan pada semakin meningkatnya kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah, memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mencari alternatif sumber-sumber untuk memperoleh hutang jangka panjang dari luar negeri dan sumber hutang dalam negeri non pemerintah.
Selain persoalan hutang tersebut diatas, pekerjaan mendesak yang perlu diselesaikan saat ini adalah bagaimana memanfaatkan dana (outstanding loan) yang masih berada pada lembaga-lembaga keuangan antara lain IBRD dan ADB yang belum sempat di reimburse karena diberlakukan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kiranya adalah bijaksana apabila pemerintah (Dept. Keuangan) dan Pemda segera mengambil sikap tegas dan strategis agar outstanding loan tersebut memberi manfaat dan tidak malah menjadi beban APBN karena harus membayar fee tiap tahun.

I.    Pendahuluan
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang mulai dilaksanakan sejak tahun anggaran 2000 merupakan peluang bagi pemerintah daerah di Indonesia untuk melaksanakan serta membiayai sendiri kemajuan pembangunan di daerahnya masing-masing. Sesuai dengan hasil penelitian serta evaluasi terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) tahun 2001 dan 2002, hanya beberapa daerah yang tergolong kaya yang mampu membiayai sendiri proyek-proyek pembangunannya seperti Propinsi Riau, Kabupaten Bengkalis, Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Kalimantan Selatan.
Secara umum daerah-daerah lainnya antara lain Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi Bengkulu masih sangat tergantung pada kucuran dana alokasi umum dari pemerintah pusat. Pada sisi lain, APBD daerah-daerah itu sebagian besar yaitu sekitar 60 persen sampai 80 persen habis untuk membayar gaji pegawai daerah. Sementara itu untuk membiayai pembangunan prasarana perekonomian yang dapat menghasilkan penerimaan berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, pemerintah daerah diperkenankan mendapatkan sumber pembiayaan yang berasal dari pinjaman dalam negeri atau pinjaman luar negeri. Sebelum implementasi otonomi daerah di awal tahun 2001, jumlah outstanding pinjaman pemerintah daerah pada 31 Desember 2000 mencapai Rp4.180 miliar yang disalurkan melalui Rekening Dana Investasi (RDI), Rekening Pembangunan Daerah (RPD) dan penerusan pinjaman (Subsidiary Loan).
Pada sisi pengembalian pinjaman pemerintah daerah selama periode tahun 1997 sampai dengan 1999 presentase tunggakan pinjaman (default) telah terjadi peningkatan dari 38 persen menjadi 42 persen. Sementara itu, perubahan kebijakan sentralisasi ke desentralisasi dan otonomi daerah, proyek pembangunan yang sebelumnya menjadi wewenang dan tanggung jawab departemen-departemen (sektoral), beralih menjadi tugas dan wewenang pemerintah daerah. Departemen-departemen tersebut seharusnya sudah menyerahkan kepengurusan dana dan penyelesaian proyek-proyek sektoral itu kepada kantor-kantor dinas daerah propinsi maupun yang ada di kabupaten/kota, termasuk pula proyek-proyek yang dibangun dengan dana pinjaman luar negeri.
Fenomena pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun fiskal 2001 dan tahun 2002 sebagian dari pemerintah daerah merasa berkeberatan atau bahkan belum bersedia menerima tanggung jawab dan penyelesaian proyek-proyek sektoral seperti pembangunan dan pemeliharaan jalan, irigasi dan lain-lain. Hal itu berakibat tertundanya penyelesaian proyek-proyek tersebut sedangkan dana pinjaman luar negeri yang sedianya sudah dapat dimanfaatkan belum sempat dire-emburse. Dalam situasi demikian, pihak lender mengenakan charge yang akan membebani APBN.

II. Landasan Teori
2.1    Desentralisasi sebagai Suatu Konsep
Secara harfiah kata desentralisasi adalah lawan dari kata sentralisasi yang dapat diartikan sebagai suatu pemusatan (adjective) berkaitan dengan suatu kewenangan (authority) pemerintahan, lalu ada istilah misalnya kantor pusat, pemerintah pusat dan sebagainya. Desentralisasi mengenai kewenangan pemerintahan menyangkut berbagai aspek misalnya bidang politik, urusan pemerintahan, sosial dan pembangunan ekonomi dan aspek fiskal. Dengan demikian lalu ada beberapa konsep seperti:2
·         Administrative decentralization
·         Political decentralization
·         Economic or market decentralization
·         Fiscal decentralization
Selanjutnya desentralisasi administratif adalah pelimpahan sebagian wewenang dan pertanggung jawaban dibarengi dengan pemberian wewenang untuk mengelola sumber-sumber keuangan untuk membiayai kegiatan operasional dan penyediaan pelayanan publik (public service). Pelimpahan wewenang tersebut berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen urusan pemerintahan dan bidang keuangan (financial management) dari pemerintah pusat kepada pemerintahan di daerah (local government). Dalam sistem desentralisasi administratif yang terjadi di Indonesia terdapat tiga bentuk yaitu ;
·         Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada kantor-kantor departemen yang ada didaerah artinya pelaksanaan kegiatan yang menjadi urusan departemen disuatu daerah.
·         Desentralisasi atau Otonomi, yaitu pelimpahan wewenang yang lebih luas dari departemen kepada pemerintah lokal dan didukung dengan dana. Jadi secara tegas ada tugas kegiatan dan biayanya (budget).
·         Bantuan (medebewind), yaitu pelaksanaan urusan atau kegiatan tertentu oleh daerah yang memperoleh pelimpahan wewenang dan pembiayaan dari pusat, namun decision terakhir berada pada pihak pemberi wewenang.

2.2    Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktifitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom.


Desentralisasi fiskal juga merupakan salah satu “pilar” dalam memelihara kestabilan kondisi ekonomi nasional, karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong aktifitas perekonomian masyarakat didaerah. Desentralisasi fiskal tersebut dikelompokkan pada ;
a.    Dana perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan maksud menciptakan keadilan dan pemerataan serta memperkecil kesenjangan fiskal antar daerah. Dana perimbangan itu berasal dari penerimaan dalam negeri yang diperoleh dari pendapatan perpajakan, royalti dan bagi hasil SDA
b.    Dana yang bersumber dari hutang dalam negeri dan luar negeri yang disalurkan ke daerah (subsidiary loan) baik dari hutang bilateral maupun multilateral.

2.3    Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Secara umum tujuan pemerintah pusat melakukan transfer dana kepada pemerintah daerah adalah:
·         Sebagai tindakan nyata untuk mengurangi ketimpangan pembagian "kue nasional", baik vertikal maupun horisontal.
·         Suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah dengan menyerahkan sebagian kewenangan dibidang pengelolaan Keuangan Negara dan agar manfaat yang dihasilkan dapat dinikmati oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal tahun anggaran 2001 yaitu telah ditransfer dana APBN sebesar Rp 81,67 Triliun yaitu 5,7% dari PDB, padahal pada tahun anggaran 2000 jumlah dana yang ditransfer ke dalam APBD melalui dana perimbangan berjumlah Rp 33,5 Triliun yaitu 7,0% dari PDB. Kemudian dalam APBN tahun anggaran 2002 transfer dana melalui dana perimbangan akan berjumlah sebesar Rp 94,53 Triliun yaitu 5,6% dari PDB.3
Sejalan dengan peningkatan transfer dana dari pemerintah pusat ke Pemda yang besaran jumlahnya cukup signifikan melalui dana perimbangan, telah memperkecil tanggung jawab pengelolaan keuangan pemerintah pusat secara umum. Sebaliknya proporsi dana yang menjadi bagian dalam APBD merupakan tanggung jawab Pemda telah meningkat semakin tajam.

2.4    Hutang Pemerintah Daerah
Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Pemerintah Daerah (Pemda), diperbolehkan melakukan pinjaman langsung kepada lembaga keuangan di dalam negeri dan lembaga pemberi pinjaman di luar negeri. Hutang pemerintah daerah (Pemda), adalah semua transaksi yang mengakibatkan Pemda menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga Pemda yang bersangkutan dibebani kewajiban untuk membayar kembali jumlah uang dalam jangka waktu tertentu kepada pihak lender. Hutang Pemda yang bersumber dari dalam negeri dan hutang luar negeri yang diteruskan ke pemerintah daerah melalui perjanjian subsidiary loan (SLA).
Latar belakang pemikiran pemberian pinjaman atau utang kepada Pemda muncul sekitar tahun 1980-an dengan maksud memberikan bantuan untuk pemerataan dan percepatan pembangunan daerah. Pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Keuangan telah mengadopsi sistem kerja kelembagaan dinegara lain semacam Public Work Loan Board atau Municipal Credit Bank atau Credit Froncier, yang ada di Eropa. Mengenai modal yang dimiliki oleh ketiga bentuk lembaga tersebut berasal dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah dan ada yang sebagian besar berasal dari pihak swasta.4 Karena pemerintah menyadari bahwa ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah antara lain disebabkan oleh kekurangan dana yang dimiliki oleh Pemda untuk membiayai pembangunan berbagai sarana seperti air bersih, terminal, pasar, dan rumah sakit. Kini hasil dari pembangunan tersebut telah dinikmati oleh sebagian besar masyarakat mulai Kabupaten Aceh Barat sampai ke Kota Jayapura.
Sementara itu ada yang berpendapat bahwa hutang adalah pengalihan sumber daya masa depan yang mungkin akan menjadi warisan generasi mendatang, namun dapat dimanfaatkan untuk kepentingan saat ini. Oleh karena itu pengguanaan dana yang berasal dari hutang oleh generasi sekarang harus dilakukan dengan penuh pertanggungjawaban. Sejalan dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, akan menimbulkan konsekuensi bahwa hasil proyek yang dibiayai dari hutang luar negeri dan tanggung jawab pembayaran kembali kewajiban hutang menjadi ownership dan tanggung jawab Pemda untuk menyelesaikannya. Artinya pemerintah daerah harus melakukan partisipasi aktif terhadap peluang pemanfaatan hutang luar negeri  dengan cara memberikan kepastian komitmen dan kontribusi kepada pemerintah pusat, sehingga terhindar dari beban penyediaan rupiah pendamping, gejolak nilai tukar rupiah dan kewajiban pembayaran kembali hutang luar negeri. Selain hal tersebut di atas saat ini pihak lender belum bersedia memberikan hutang langsung kepada Pemda karena terlebih dahulu harus ada jaminan dan persetujuan pemerintah pusat.5
Sementara itu sebagian Pemda kabupaten dan kota belum mampu membiayai investasi (capital investment) karena sekitar 80 persen dana APBD dipakai untuk membayar keperluan rutin seperti gaji pegawai, nonpegawai dan pemelihraan prasarana operasional perkantoran. Pada sisi lainnya, beberapa daerah dengan kondisi APBD yang pas-pasan itu menanggung beban utang cukup besar jumlahnya yang berasal dari pinjaman kepada pemerintah pusat maupun pinjaman luar negeri yang diteruskan kepada daerah (SLA).
Jumlah outstanding hutang Pemda posisi Per 31 Desember 2000 yang tercantum pada rekening pembangunan daerah (RPD) sebagai penerusan pinjaman dan pada rekening dana investasi (RDI) masing-masing mencapai berjumlah Rp96.549,75 juta dan sebesar Rp2.425.329,4 juta.6


2.5    Permasalahan Hutang Luar Negeri Pemda
Permasalahan hutang Pemda mulai ramai diperbincangkan sejak dilaksanakan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejak efektifnya pelaksanaan kedua undang-undang tersebut, maka urusan pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerah yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat beralih menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Dalam hal ini termasuk hutang-hutang luar negeri yang dilakukan oleh beberapa departemen pemerintahan untuk membiayai pembangunan proyek-proyek didaerah. Pada saat dimulai pelaksanaan otonomi daerah dimaksud masih terdapat proyek-proyek yang belum selesai dikerjakan, dan masih banyak dana pinjaman yang belum direimbursement.7
Menurut informasi pihak Pemda, merasa berkeberatan menerima hutang-hutang luar negri dan tidak bersedia menindaklanjuti pekerjaan penyelesaian proyek-proyek tersebut. Pihak Pemda itu berargumentasi bahwa hutang dan proyek-proyek tersebut adalah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sementara itu pihak lender bersikap tidak mau tahu terhadap kondisi di Indonesia yang masih pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah. Pihak lender membebani “biaya keterlambatan penarikan pinjaman” (commitment charge) terhadap dana loan yang belum digunakan.
Pihak lender tidak bersedia mengalihkan dana outstanding tersebut pada proyek atau kedaerah yang lain karena tidak sesuai dengan perjanjian yang sudah berjalan. Dilain pihak untuk merubah surat perjanjian itu akan memerlukan waktu agak lama. Dengan keadaan demikian pemerintah tidak dapat menarik dan menggunakan dana pinjaman tersebut namun menanggung pembayaran charge yang membebani APBN. 

III.   Kriteria dan Prosedur Hutang Luar Negeri Pemda
3.1    Kriteria Hutang
Sebagai prinsip pemanfaatan dana yang berasal dari utang adalah penting untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama: dana yang diperoleh dari utang agar dimanfaatkan untuk membiayai investasi pada usaha yang produktif, misalnya untuk membangun pabrik pengolahan minyak sawit, pabrik gula, tapioka dsb. Yaitu investasi modal pada sektor yang produktif, memberikan nilai tambah terhadap output yang dihasilkan, dan yang penting bagi daerah yaitu membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal.
Kedua: dana yang berasal dari hutang agar diinvestasikan pada sektor yang bersifat “income generating loan”, artinya investasi untuk membangun proyek yang menaikkan pendapatan daerah misal sektor pariwisata daerah. Maksudnya supaya pembayaran hutang proyek, tidak membebani APBD.
Ketiga: untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat “cost recovery” yaitu sangat menitikberatkan pada tujuan social ekonomisnya sebaiknya dikategorikan ke dalam publik investment proyek agar pembangunannya menggunakan dana hibah (grant).
Keempat: secara tradisional pertumbuhan ekonomi mesti didukung oleh ketersediaan jumlah dana investasi yang memadai, dimana sumber dana investasi itu berasal dari public saving. Dalam hal terdapat gap antara kebutuhan dana investasi dengan tabungan masyarakat, maka perlu dicarikan sumber pembiayaan luar negeri sehingga dapat menutup kekurangan biaya investasi yang bersangkutan.
Kelima: Penggunaan sumber dana yang berasal dari hutang luar negeri oleh Pemda harus dirancang berdasarkan peraturan daerah secara hati-hati dan bertanggung jawab agar pembayaran hutang tidak menjadi beban generasi yang akan datang.
Keenam: Sebagaimana diatur dalam PP No. 107 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 675/KMK.01 Tahun 2001 tentang Pinjaman Daerah, yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas desentralisasi pemerintah daerah, Pemda diperbolehkan melakukan hutang, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Namun sampai dengan akhir tahun anggaran 2002  Pemda belum diperbolehkan mengadakan hutang yang baru.

3.2    Prosedur Hutang Pemda
Untuk dapat menjamin efisiensi dan efektifitas dari pinjaman tersebut, perlu disusun sebuah mekanisme perencanaan pinjaman daerah sesuai dengan visi dan tujuan jangka panjang daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga dalam proses perencanaan ini terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi daerah agar mendapatkan persetujuan Pemerintah Pusat untuk memperoleh pinjaman luar negeri.
Tahapan pertama yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah adalah melaksanakan Good Governance. Untuk itu Pemerintah Daerah hendaknya melaksanakan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam pelaksanaan roda pemerintahan. Ketiga prinsip tersebut harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam segala bidang pemerintahan, baik meliputi perencanaan daerah, alokasi keuangan dan penggunaan keuangan daerah, maupun transparansi dalam pelaksanaan setiap program Pemerintah Daerah. Nilai-nilai transparansi ini hendaknya dapat disepakati dalam bentuk Peraturan Daerah yang disepakati oleh semua stakeholders di daerah.
Untuk dapat mencapai kesepakatn tersebut, perlu mekanisme proses interaksi antara pemerintah, DPRD, dan stakeholders dimasyarakat. Interaksi ini diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan bersama mengenai visi, misi, dan tujuan daerah, serta langkah-langkah yang harus disepakati bersama dalam bentuk peraturan daerah, maupun prioritas-prioritas pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.
Setelah tercipta kesepakatan tersebut, Pemerintah Daerah harus melakukan perbaikan-perbaikan baik dalam bidang kebijakan dan sistem pemerintahan, maupun pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip Good Governance sehingga tercipta kondisi daerah yang kondusif bagi pengelolaan keuangan daerah dan investasi publik. Dengan demikian sumber keuangan daerah yang diperoleh melalui pinjaman luar negeri tersebut dapat dikelola secara efisien dan efektif.
Melalui mekanisme interaksi antara Pemerintah Daerah, DPRD, dan stakeholders, maka Pemerintah Daerah kemudian akan mengajukan proposal pinjaman luar negeri kepada pemerintah pusat yang berisi jenis pinjaman, tujuan dan sasaran pinjaman, studi kelayakan terhadap program yang akan didanai, transparansi pengelolaan keuangannya, serta analisa terhadap kemampuan keuangan daerah dalam mengembalikan dana pinjaman tersebut.
Sebelum mengajukan proposal pinjaman daerah, pemerintah daerah wajib melakukan koordinasi vertikal ke pemerintah propinsi dan horisontal pemerintah daerah  di sekitarnya. Koordinasi ini bertujuan untuk mensinergiskan pembangunan antar daerah dan wilayah, sehingga diharapkan dapat menjadi rajutan dalam mencapai Pembangunan Nasional secara keseluruhan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 107 Tahun 2002, Pemerintah Pusat bertanggung jawab untuk menjamin daerah dalam menanggung pinjaman luar negeri apabila daerah tersebut tidak mampu untuk membayar hutangnya. Oleh sebab itu Pemerintah Pusat berwewenang untuk memastikan apakah daerah telah berhasil melaksanakan perbaikan-perbaikan tersebut. Apabila perbaikan tersebut masih diangggap kurang untuk dapat menghasilkan kondisi yang kondusif di daerah bagi penegelolaan keuangan daerah dan investasi publik, maka Pemerintah Pusat berhak untuk memberikan rekomendasi yang yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh tambahan dana melalui pinjaman luar negeri.
Apabila perbaikan tersebut sudah dapat menghasilkan suatu kondisi yang kondusif bagi pengelolaan keuangan daerah dan investasi publik, maka Pemerintah Pusat akan memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengajukan proposal pinjaman luar negri yang akan mendanai kegiatan dan program Pemerintah Daerah, baik yang  bersifat jangka pendek, maupun jangka panjang.
Menanggapi ajuan proposal pinjaman luar negeri Pemerintah Daerah, pemerintah akan melakukan analisa mengenai studi kelayakan dan kemampuan keuangan daerah. Analisa ini akan menentukan jumlah pinjaman optimal dan jenis pinjaman yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
Apabila telah terjadi kesepakatan antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam penentuan jenis dan jumlah pinjaman, maka Pemerintah Pusat akan mengajukan pinjaman luar negeri kepada lembaga donor.




IV.Analisa Hutang Daerah

Salah satu issue penting mengenai hutang Pemda yaitu pengukuran kemampuan daerah untuk meminjam dan kemampuannya untuk membayar Hutang (repayment capacity).

4.1    Kapasitas Meminjam
          Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 107 Tahun 2000, untuk melakukan pinjaman jangka panjang (jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran) Daerah harus memenuhi ketentuan sbb:
a.    Jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah Penerimaan Umum APBD tahun sebelumnya;
     PU= PD - (DAK + DD + DP + PL)
     dimana;
     PU = Penerimaan Umum
     PD = Jumlah Penerimaan Daerah
     DAK = Dana Alokasi Khusus
     DD = Dana Darurat
     DP = Dana Pinjaman
     PL = Penerimaan Lain

b.    APBD beberapa daerah memperlihatkan keadaan sbb:

Pemda propinsi Sulawesi Selatan

Total Pendapatan Daerah
622.544,1
·         Utang Pemda Tk. I
250,0
·         Penerimaan Umum (PU)
622.294,1
·         Kapasitas Meminjam
466.720,5




Pemda propinsi Kalimantan Selatan

Total Pendapatan Daerah
463.132,2
·         Utang
18.950,0
·         Penerimaan Umum
444.182,2
·         Kapasitas Meminjam
333.136,6


Pemda propinsi Riau

Total Pendapatan Daerah
346.266,9
·         DAK
1.632,0
·         Utang
400,0
·         Penerimaan Umum
258.146,1
·         Kapasitas Meminjam
193.609,5


Pemda kabupaten Bengkalis

Total Pendapatan Daerah
1.030.159,0
·         Utang
0
·         Kapasitas Meminjam
772.619,3


4.2    Ratio Kemampuan Membayar Utang (Debt Service)
Ditentukan bahwa dalam persyaratan membayar utang, kemampuan daerah harus paling sedikit 2,5 kali jumlah seluruh pendapatan dikurangi dengan belanja dan biaya-biaya yang wajib dikeluarkan atau diprioritaskan oleh Pemda, misalnya gaji pegawai, cicilan utang dan bunganya.
Kemampuan daerah dimaksud adalah;
PAD + Dana Perimbangan minus DAK dikurangi gaji pegawai dibagi kewajiban pembayaran utang serta biaya bunga dan commitment fee.
Artinya bagi daerah yang membutuhkan utang 100 juta, dipersyaratkan sekurang-kurangnya memiliki pendapatan bersih sebesar 250 juta. Dengan demikian kemungkinan posisi keempat daerah sample tersebut mendapatkan jumlah maksimum utang adalah;
·         Propinsi Sulawesi Selatan                 Rp. 165.159,5
·         Propinsi Kalimantan Selatan              Rp. 120.312,7
·         Propinsi Riau                                 Rp.   26.105,2
·         Kabupaten Bengkalis                       Rp. 269.386,1

4.3    Kapasitas Fiskal Daerah Tahun 2001
Daya dukung kapasitas Fiskal keempat daerah tersebut di atas relatif baik antara lain karena perolehan PAD dan Transfer Fiskal dari Pemerintah Pusat cukup besar jumlahnya;

Transfer Fiskal Pemerintah Pusat

T.A 2001


No
Penerimaan
Prop. Sulsel
Prop. Kalsel
Prop. Riau
Kab. Bengkalis
1
2
3
PAD
Dana Perimbangan
Bel. Pegawai
200.553,1
323.892,3
53.821,6
130.702,3
259.216,6
32.354,8
37.615,5
302.391,5
128.391,6
25.266,6
951.053
99.154,0

%Bel. Pegawai
16,6
12,5
42,5
10,4

Dengan demikian keempat daerah itu secara finansial memiliki kapasitas untuk berutang.

4.4    Outstanding Utang Daerah
Total Outstanding Utang Pemda dan BUMD per 31 Desember tahun 2000 memperlihatkan komposisi sbb;
Outstanding Utang Daerah
Per 31 Desember 2000 (juta Rp)

RDI
332.761,7
SLA
2.425.329,4
RPD
1.326.244,4
SLA
9.654,8
Total
4.180.905,6

Pada kedua Rekening tersebut terdapat beban hutang Pemda yaitu 33,6 % pada RDI dan 44,5 % pada RDP, selebihnya adalah beban hutang BUMD.
Ø  Dalam rangka kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, sebagian besar fungsi Pemerintahan, termasuk pembangunan prasarana dan sarana pelayanan publik (public services) sudah menjadi kewenangan dan tangungjawab Pemda. Penyediaan sarana pelayanan itu disamping untuk kebutuhan masyarakat lokal, tetapi juga sangat diperlukan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah.
Ø  Utang Daerah, dalam kerangka hubungan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Utang diperlikan apabila dinilai bahwa sumber-sumber penerimaan yang ada "tidak mencukupi" untuk membiayai belanja investasi (capital investment) dan hasilnya akan menambah jumlah aset daerah.
Ø  Utang Daerah yang bersumber dari luar negeri yang berlaku selama ini menggunakan mekanisme subsidiary loan agreement (SLA) yang di dalamnya mendapat subsidi yang jumlahnya cukup signifikan berupa;
-                Tingkat bunga di bawah tingkat perbankan,
-                Jangka dan tenggang waktu pinjaman lebih panjang
Ø  Pada sisi pengembalian pinjaman, mekanisme tersebut di atas ternyata tidak menjamin pengelolaan utang daerah secara benar, hal itu terlihat dari tingginya persentase tunggakan utang (default) Pemda dan BUMD.

Tahun
Default
1997
1999
38 %
42 %

Ø  Kebijakan pengelolaan utang dengan mekanisme SLA ternyata tidak efektif dalam menggerakkan pembangunan di daerah, tidak mendewasakan daerah dan malahan denda yang dikenakan oleh pihak lender atas on landing utang daerah saat ini menjadi beban pemerintah pusat (APBN).
Outstanding Utang Daerah
Per 31 Desember 2001

Daerah
SLA yang diteruskan kepada PDAM
SLA yang diteruskan kepada PEMDA
18
20
18
20
Daerah Istimewa Aceh
6.181,23
5.281,15
302,84
0,00
Prop. Sumatera Utara
106.233,47
49,07
61.950,74
0,00
Prop. Sumatera Barat
26.357,93
517,67
5.915,34
1.563,71
Prop. Riau
2.117,31
0,76
1.322,68
301,51
Prop. Jambi
638,28
12.296,72
1.301,15
1.035,39
Prop. Sumatera Selatan
120.749,89
143.591,15
28.536,77
11.842,31
Prop. Bengkulu
22.406,27
57.301,38
949,40
0,00
Prop. Lampung
19.135,38
0,00
6.850,09
0,00
DKI Jakarta
628.599,87
0,00
502.303,06
101.351,95
Prop. Jawa Barat
391.953,26
52.988,60
58.242,38
83,09
Prop. Jawa Tengah
203.472,55
266.336,11
121.594,69
35.521,88
DI Jogjakarta
2.092,20
93,11
11.630,13
0,00
Prop. Jawa Timur
337.257,98
957.957,87
176.718,61
577.519,98
Prop. Kalimantan Barat
29.201,26
18.826,84
11.643,47
4.601,09
Prop. Kalimantan Tengah
5.016,11
20.346,73
3.601,58
11.089,45
Prop. Kalimantan Selatan
34.803,77
0,00
14.280,92
251,15
Prop. Kalimantan Timur
11.612,80
27.496,85
6.216,47
13.500,20
Prop. Kalimantan Barat
12.444,60
15.869,97
10.404,05
10.357,90
Prop. Sulawesi Selatan
124.977,79
18.204,34
31.922,91
47.349,58
Prop. Bali
27.289,25
118,59
914,43
0,00
Prop. NTB
4.380,95
1.372,58
-
-
Prop. NTT
3.663,53
10.310,81
-
-
Jumlah Sektor Dalam Negeri PDAM
2.120.575,68
1.608.960,29
Jumlah PEMDA
1.056.601,71
816.369,2



Jumlah Sektor Dalam Negeri (RDI)
3.197.722,56
2.425.329,48
Sumber: Ditjen. Lembaga Keuangan


V.   Penutup

Untuk sebagian proyek-proyek daerah yang dibiayai dari utang luar negeri seperti sarana dan prasarana air bersih, terminal angkutan darat, kebersihan dan drainase kota telah memberikan manfaat kepada masyarakat di daerah, akan tetapi dalam pengelolaan utang luar negeri dan dalam negeri, daerah belum menunjukkan kinerja yang lebih baik, hal ini terbukti dari tingginya jumlah tunggakan utang (default) dan out standing utang luar negeri yang semestinya dapat dimanfaatkan oleh daerah, telah menimbulkan "despute" dan beban denda oleh pihak lender.
Kemungkinan penyelesaian permasalahan outstanding utang dengan menempuh alternatif;
a)    Mengalihkan lokasi proyek ke daerah yang bersedia menerima tanggung jawab persyaratan-persyaratan utang kepada pihak lender, melalui kesepakatan dengan Pemerintah Pusat.
b)   Pemerintah Pusat mengambil inisiatif pembatalan loan agreement dengan pihak lender, ketimbang memperpanjang status quo, dimana dana loan tidak dimanfaatkan oleh Pemda, akan tetapi Pemerintah menanggung beban charge.
c)    Ke depan perlu dipertimbangkan:
·         Ada suatu institusi yang menangani penyaluran dana untuk Pemda secara khusus.
·         Institusi tersebut bisa dimiliki Pemerintah, bisa swasta (tapi diatur Pemerintah).
·         Contoh yang sudah ada di negara lain adalah municipal development bank dan municipal development fund.
·         Perlu pemikiran mengenai jaminan pinjaman dari institusi seperti ini (masih perlu campur tangan Pemerintah Pusat).
·         Pemda diharapkan lebih berperan dalam penentuan proyek-proyek yang   diajukan untuk mendapatka pinjaman LN.
·         Difokuskan pada proyek yang memberikan benefit sosial jangka pendek dan panjang, terutama proyek infrastruktur.
·         Proyek yang diprioritaskan diharapkan sejalan dengan konsep perencanaan nasional.
·         Mengurangi resiko nilai tukar dengan mekanisme yang ada (hedging).
 

VI.    Daftar Pustaka

Bachrul Elmi 2002, Keuangan Pemerintah Daerah Otonomi di Indonesia, UI Press.
Binder, Brian, 1985, Central - Local Financial relation Review for The GOI, Summary of Study Report - DAG - ILGS - Unversity Birmingham.
Davey, KJ 1983 Financing Regional Government, John Weley I Sons, Chicester, UK.
Kep. Menteri Keuangan RI No.3470/KMK. 071/2000 Tentang Pengelolaan RPD.
Nasution M.P, 2002, Reformasi Manajemen Keuangan Daerah, makalah Seminar Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Jakarta, 21 Maret 2002.
Nota Keuangan dan RAPBN T.A 2002.
Osborne, David, 1996, Reinventing Government, How the Enterpreneural Spirit is Transforming the Public Sector, CV. Taruna Grafika, Jakarta.
PP No. 107 tahun 2000, Tentang Pinajman Daerah.
The World Bank, 2000, Indonesia Managing Government Debt and It's Risk, Report No. 20436. IND.
The World Bank, 2000, Indonesia Accelerating Recovery In Uncertain Times, Brief for the CGI, No. 20991. IND.



1 Peneliti Muda pada Pusat Statistik dan Penelitian Keuangan, BAF, Departemen Keuangan RI.
2 Machfud Sidik, 2002 Desentralisasi Fiskal, studi kasus DAU, DAK dan DANA PENYEIMBANG, paper yang dipresentasikan pada Seminar Nasional "Kebijakan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Maret 2002, di Hotel Borobudur.

3 Nota Keuangan, 2003.
4 Bachrul Elmi, Kajian Ekonomi dan Keuangan, tahun 2002 Vol.6 hal.67.
5 Sesuai dengan kondisi APBN saat ini, untuk sementara Pemda belum diizinkan melakukan pinjaman ke pusat atau ke luar negeri.
6  Ditjen. Lembaga Keuangan, 2002, Rekapitulasi SLA, Outstanding Loan.
7  Sebagai contoh “Proyek Jalan Raya” yang dibiayai dari pinjaman APBD, world Bank mencapai 3 miliar US $, baru sebagian selesai dibangun (fisik 20% - 80%) semestinya diambil alilh (dilanjutkan) oleh Pemda.

You Might Also Like

0 komentar

THANK YOU FOR COMING

authorThank you for coming to my blog.
Learn More ?



OUR CONTACT

Contact person Nely Aulia : For any business inquiries please contact me through : LINE @ : @jpz0431x (use @) Email: nely_aulia@yahoo.co.id Thank you~

Q OR A

Name

Email *

Message *