“ Kebijakan Moneter dalam Perekonomian Nasional ”
11:10:00 PM
A.
Konsep
dan Penerapan ITF
Apa itu ITF?
Dengan
kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi
kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi,
kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya
perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah
perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah
dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai
oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara
operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan
suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku
bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.
Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan
inflasi.
Krisis moneter yang
terjadi sejak tahun 1997 telah
memberikan banyak pelajaran bagi
Indonesia, salah satu di antaranya adalah perubahan fundamental dalam
perumusan kebijakan moneter. Jika sebelum krisis, kebijakan moneter diarahkan
untuk mecapai atau merealisasikan tujuan ganda (multiple objectives) antara
lain: pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, stabilitas moneter,
keseimbangan neraca pembayaran dan tujuan-tujuan pembangunan lainnya, maka
sejak UU No. 23/1999 yang kemudian diamandemen menjadi UU No.3/2004 Tentang
Bank Indonesia diberlakukan, kebijakan moneter di Indonesia diarahkan pada satu
tujuan (single target) yaitu mencapai dan memelihara inflasi yang rendah dan
stabil.
Ketidakpuasan
terhadap model kebijakan moneter yang lama (monetary targeting dan interest
rate targeting serta exchange rate targeting) dalam mewujudkan tujuan akhir
kebijakan moneter serta ditemukannya bukti-bukti baru tentang peranan uang
dalam perekonomian, merupakan titik awal dari berkembangnya model ITF. Akan
tetapi karena model ITF relatif baru, penerapan model ini banyak menemui
hambatan dan bank sentral yang menerapkan model ini masih banyak pada taraf
“learning by doing ”.Karateristik utama
model ITF adalah dijadikannya target inflasi sebagai tujuan utama kebijakan
moneter yang diumumkan kepada publik sebagai target inflasi yang harus dicapai
oleh Bank Indonesia. Dalam konteks Indonesia, tujuan akhir kebijakan moneter
harus mengacu pada Undang-Undang Bank Indonesia (UU No. 3 Tahun 2004 Tentang
BI).
Pelaksanaan ITF di
Indonesia mengikuti prinsip dasar bahwa ITF adalah framework, bukan rule.
Dengan prinsip ini, kebijakan moneter tidak dilaksanakan secara kaku.
Pelaksanaan kebijakan moneter juga mempertimbangkan sasaran-sasaran pembangunan
yang lebih luas antara lain pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan prinsip full
discretionary, ITF menuntut agar discretionary policy dalam
pelaksanaan kebijakan moneter bersifat terbatas Pertumbuhan ekonomi dan variabel-variabel makroekonomi
lainnya masih menjadi pertimbangan penting dalam pentargetan inflasi, karena
pertumbuhan ekonomi merupakan faktor yang menentukan tingkat inflasi di masa
yang akan datang (Ismail, 2006). Target inflasi dapat dipandang sebagai suatu
jangkar nominal (nominal anchor) kebijakan yang akan menentukan respons
kebijakan yang akan diambil oleh suatu bank sentral (misalnya Bank Indonesia). Target
inflasi merupakan tujuan utama kebijakan moneter, sedangkan yang lainnya
merupakan tujuan sekunder, tapi tujuan sekunder tidak boleh mengganggu tujuan
utama . Meskipun demikian, tingkat inflasi yang rendah dan stabil masih menjadi
kontroversi dan besarnya tingkat inflasi di setiap negara sulit untuk dikatakan
sama (Schmidt-Hebel,2003 dalam Ismail,2006). Model ITF juga berbeda dengan
model kebijakan moneter lain yang telah disebutkan sebelumnya.
Dalam model ITF
yang diungkapkan adalah sasaran akhir (final target) yaitu inflasi, sedangkan
pada model-model lainnya yang ditonjolkan adalah sasaran antara (intermediate
target) yaitu jumlah uang beredar (money supply), nilai tukar (exchange rates)
dan tingkat suku bunga (interest rate). Karateristik utama model ITF seperti
itu, harus dibedakan dengan kondisi dimana bank sentral (Bank Indonesia)
mengumumkan prediksi tingkat inflasi yang ingin dicapai. Kasus terakhir ini
tidak bisa dikategorikan sebagai model ITF (Debelle, 2001 dalam Ismail, 2006),
karena tidak ada kewajiban bagi bank sentral (Bank Indonesia) untuk mewujudkan
estimasi inflasi yang telah dibuatnya. Besaran estimasi yang diumumkan masih
bersifat indikatif dan tarafnya masih pada tingkat yang ”diharapkan” dan bukan tingkat
yang harus ”diwujudkan”, untutuk alasan itu maka tidak bisa disamakan dengan target
yang harus dicapai seperti dalam model ITF (Ismail,2006). Pengertian tujuan
utama dalam model ITF tidak harus dimaknai secara mutlak. Artinya, tujuan
kebijakan makroekonomi lainnya tidak mutlak diabaikan misalnya tujuan pertumbuhan
ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Tapi, target inflasi harus menjadi
target utama, sementara yang lainnya merupakan tujuan sekunder yang ”tidak boleh
mengganggu” tercapainya tujuan utama.
Dalam model ITF,
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja masih menjadi pertimbangan penting
karena kedua variabel tersebut besar peranannya terhadap besaran tingkat
inflasi di masa datang, tapi kadar pertimbangan tersebut sangat tergantung pada
model yang diadopsi dan secara empiris tidak boleh disamaratakan untuk semua
negara (Masson et al,1998). Secara teoritis dan empiris, berkembangnya model
ITF erat kaitannya dengan kontroversi yang tejadi di antara ekonom di bidang
moneter. Kontroversi tersebut belum berakhir dan tampaknya tidak akan pernah
berakhir. Perdebatan di antara ekonom moneter mengerucut (konvergensi) pada 4
(empat) hal yang kemudian 4 hal itu menjadi premis dari model ITF (Masson et
al,1998). Empat premis dasar tersebut adalah sebagai berikut. (1). Uang netral
dalam jangka panjang. Artinya, dalam jangka panjang perubahan jumlah uang
beredar (money supply) hanya berpengaruh terhadap variabel nominal (misalnya
inflasi), tapi tidak berpengaruh sama sekali terhadap variabel riil (misalnya
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja). Secara teoritis, persoalan ini erat
kaitannya dengan debat panjang antara dua keompok pemikiran. Yaitu antara
kelompok implicit mainstream views yang menekankan fungsi uang sbagai alat
tukar (the medium of change) dan berkesimpulan bahwa uang bersifat netral
(money neutrality). Kelompok yang berpandangan bahwa money as social relation
atau credit approach yang berpandangan bahwa uang bersifat tidak netral (Smithin,
2003).
Namun secara
empiris, banyak studi yang dilakukan sejak tahun 1970-an mendukung kenetralan
uang terhadap sektor riil dalam jangka panjang (Taylor, 1996). (2). Tingkat
inflasi yang tinggi dan berfluktuasi menimbulkan biaya ekonomi yang sangat
mahal dalam perekonomian. Banyak studi yang membuktikan kautnya hubungan
negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, tingkat inflasi
berpengaruh terhadap distribusi pendapatan melalui perubahan nilai kekayaan
yang tidak proporsional dan sekaligus menurunkan tingkat kesejahteraan (Ismail
et al, 2005). (3). Uang bersifat tidak netral dalam jangka pendek. Meskipun
kebijakan moneter memiliki dampak positif terhadap output dalam jangka pendek,
namun pemahaman para ekonom mengenai dampak kebijakan moneter terhadap output dalam
jangka pendek masih belum jelas. Ismail (2006) menyatakan bahwa ketidakjelasan
itu meliputi: (i). Berapa besarnya dampak, (ii). Kapan dampak itu akan muncul,
(iii). Bagaimana kebijakan moneter itu ditransformasikan ke seluruh sektor
ekonomi. Untuk alasan itu, kebijakakan moneter yang ditujukannmenciptakan
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja , sebenarnya masih menghadapi
ketidakpastian (Dodge,2005). (4).
Adanya time lag
yang panjang antara saat implementasi kebijakan moneter dan tercapainya sasaran
akhir (final target) atau saat munculnya inflasi. Meskipun telah diyakini
adanya dampak kebijakan moneter terhadap inflasi, tetapi kapan dan berapa besar
pengaruhnya tidak bisa diketahui dengan segera dalam jangka pendek. Atas dasar
itu, maka rumusan kebijakan moneter yang ditujukan untuk stabilitas harga,
harus dirumuskan dalam jangka menengah dan panjang. Mengacu pada keempat premis
dasar model ITF tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan moneter yang
fokus pada sasaran tunggal inflasi akan mempermudah tercapainya tujuan-tujuan
lain dari kebijakan makroekonomi lainnya (misalnya pertumbuhan ekonomi dan
perluasan kesempatan kerja). Karena secara empiris, kebijakan moneter yang
multiple target justru mempersulit bank sentral (Bank Indonesia), karena tidak
semua sasaran dapat dikendalikan oleh instrumen kebijakan moneter. Akibatnya,
tidak semua sasaran dapat dicapai secara simultan dan kebijakan moneter menjadi
tidak efektif.
Dalam
melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja
yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini
diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan
kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai
sasaran kebijakan moneter.
B.
Mengapa ITF?
Dengan telah dilepaskannya sistem
nilai tukar dengan band intervensi nilai tukar (crawling band) di tahun
1997, Bank Indonesia memerlukan jangkar nominal (nominal anchor)
baru dalam rangka menjalankan kebijakan moneter. Jangkar nominal adalah
variabel nominal (seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar) yang
ditargetkan secara eksplisit oleh bank sentral sebagai dasar/patokan bagi pembentukan harga lainnya.
Misalnya kalau nilai tukar dijadikan target, maka inflasi luar negeri akan
menjadi inflasi domestik.
Mengapa kebijakan moneter memerlukan
jangkar nominal? Karena tanpa adanya
jangkar nominal, tidak ada kejelasan kemana kebijakan moneter akan diarahkan
sehingga masyarakat tidak memiliki pedoman dalam membuat ekspektasi
inflasi. Ibarat kapal yang mengapung di lautan tanpa kejelasan kearah
mana kapal dilabuhkan. Sebaliknya, dengan adanya jangkar nominal
masyarakat akan membuat ekspektasi inflasi yang diperlukan dalam kalkulasi
usahanya sesuai dengan jangkar nominal tersebut. Dengan mengumumkan sasaran
inflasi dan Bank Indonesia secara konsisten dapat mencapainya akan meningkatkan
kredibilitas kebijaan moneter yang pada gilirannya ekspektasi inflasi
masyarakat sesuai dengan sasaran yang ditetapkan BI.
Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan
ITF.
- ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan
sasaran inflasi secara eksplisit masyarakat akan memahami arah
inflasi. Sebaliknya dengan sasaran base money, apalagi
jika hubungannya dengan inflasi tidak jelas, masyarakat lebih sulit
mengetahui arah inflasi kedepan.
- ITF yang memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan
moneter sesuai dengan mandat yang diberikan kepada Bank Indonesia.
- ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak
kebijakan pada inflasi yang memerlukan time lag.
- ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan
moneter mendorong kredibilitas kebijakan moneter. Aspek transparansi
dan akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan
aspek-aspek good governancedari sebuah bank yang telah
diberikan independensi.
- ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang
beredar, output dan inflasi. Sebaliknya, ITF merupakan
pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejumlah
variabel informasi tentang kondisi perekonomian.
Bagaimana ITF diterapkan?
Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke
depan pada periode tertentu. Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi
apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang
ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah
informasi yang dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan. Jika
proyeksi inflasi sudah tidak kompatibel dengan sasaran, Bank Indonesia
melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki. Misalnya
jika proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan
cenderung melakukan pengetatan moneter.
Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai
asesmen terhadap kondisi inflasi dan outlook ke depan serta
keputusan yang diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan
penjelasan kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk
mengembalikan inflasi sesuai dengan sasarannya.
Proses Pengambilan Keputusan untuk Penetapan
Kebijakan Moneter
Rapat Dewan Gubernur (RDG)
- Penetapan
respon kebijakan moneter di Bank Indonesia dilakukan dalam Rapat Dewan
Gubernur (RDG). Rapat tersebut diadakan pada minggu pertama setiap
bulannya, guna melakukan asesmen menyeluruh terhadap perkembangan kondisi
makroekonomi dan kebijakan terkini, serta proyeksi ekonomi ke depan,
termasuk inflasi.
- RDG
dinyatakan sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya oleh lebih dari separuh
anggota Dewan Gubernur. Pengambilan keputusan Rapat Dewan Gubernur
dilakukan atas dasar musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila mufakat
tidak tercapai, Gubernur menetapkan keputusan akhir.
- Namun
demikian, apabila dalam keadaan darurat dan RDG tidak dapat
diselenggarakan karena jumlah anggota Dewan Gubernur yang hadir tidak
memenuhi ketentuan, Gubernur atau sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota
Dewan Gubernur dapat menetapkan kebijakan dan/atau mengambil keputusan.
- Guna
meningkatkan kredibilitas dan transparansi kebijakan moneter, jadwal
penetapan respon kebijakan moneter diumumkan kepada publik setiap
awal tahun.
C. Arah
& Perkembangan Kebijakan Moneter di Indonesia tahun 2012
Dengan memandang bahwa pengelolaan ekonomi makro
kedepan masih harus berhadapan dengan risiko global dan kompleksitas
permasalahan domestik yang begitu besar, arah kebijakan Bank Indonesia pada tahun
2012 akan di arahkan dalam rangka:
Ø Mengoptimalkan
peran kebijakan moneter dalam mendorong kapasitas perekonomian
sekaligus memitigasi
risiko perlambatan ekonomi global.
Ø Meningkatkan
efisiensi perbankan untuk mengoptimalkan kontribusinya dalam
perekonomian, dengan
tetap memperkuat ketahanan perbankan.
Ø Meningkatkan
efisiensi, kehandalan, dan keamanan sistem pembayaran, baik dalam
sistem pembayaran
nasional maupun hubungan sistem pembayaran dengan luar negeri.
Ø Memperkuat
ketahanan makro dengan memantapkan koordinasi dalam manajemen pencegahan dan
penanganan krisis (PMK).
Ø Mendukung
pemberdayaan sektor riil termasuk melanjutkan upaya perluasan akses perbankan
(financial inclusion) kepada masyarakat
Pada tahun 2012, kebijakan moneter akan diarahkan
dalam rangka melanjutkan stabilisasi disektor keuangan serta menjangkar BI Rate
yang konsisten dengan upaya mengoptimalkan stimulus pada perekonomian, namun
dengan tetap memperhatikan pencapaian sasaran inflasi. Respon suku bunga akan
diarahkan agar konsisten untuk pencapaian sasaran inflasi IHK sebesar 4,5
persen ± 1 persen pada tahun 2012 dan 2013, sekaligus untuk menjaga momentum
penguatan ekonomi dan memitigasi risiko dari perlambatan ekonomi global.
Kebijakan suku bunga ini akan dilengkapi dengan kebijakan makro prudensial,
untuk memitigasi risiko kerentanan pada sektor-sektor konsumtif yang
pertumbuhannya tidak sustainable atau berpotensi mengalami pengelembungan harga
aset (asset bubble).
Strategi operasi kebijakan moneter akan tetap
diarahkan untuk menjaga kestabilan suku bunga di pasar uang rupiah, mendukung
stabilitas nilai tukar, dan memelihara stabilitas pasar keuangan. Saya
memandang, bentuk stabilitas tersebut perlu memberikan ruang yang lebih luas
bagi pendalaman pasar keuangan nasional.Oleh karena itu, operasi moneter akan
bertumpu pada instrumen-instrumen yang secara langsung dapat menghidupkan
aktifitas transaksi di pasar uang seperti, transaksi pasar uang rupiah antar
bank (PUAB), Repurchase Agreement (Repo) dan swap. Dengan demikian, ini akan
mendorong pengelolaan likuiditas perbankan secara lebih sehat dan efisien. Bank
Indonesia juga melihat perlunya langkah-langkah untuk melanjutkan proses
‘re-alignment’ struktur suku bunga di pasar keuangan melalui berbagai
penyempurnaan dalam mekanisme operasi pasar terbuka (OPT).
A.
KESIMPULAN
Pada awalnya kebijakan moneter diarahkan untuk mecapai atau merealisasikan
tujuan ganda (multiple objectives) antara lain: pertumbuhan ekonomi, perluasan
kesempatan kerja, stabilitas moneter, keseimbangan neraca pembayaran dan tujuan-tujuan
pembangunan lainnya,sejak UU No. 23/1999 yang kemudian diamandemen menjadi UU
No.3/2004 Tentang Bank Indonesia diberlakukan, kebijakan moneter di Indonesia
diarahkan pada satu tujuan (single target) yaitu mencapai dan memelihara inflasi
yang rendah dan stabil.
Kemudian
instrumen dalam menetapkan kebijakan moneter adalah dengan menggunakan ITF.Dengan kerangka ini, Bank Indonesia
secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter
diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah
tersebut.Arah kebijakan dan perkembangan Bank Indonesia adalah Mengoptimalkan
peran kebijakan moneter dalam mendorong kapasitas perekonomian sekaligus memitigasi risiko perlambatan
ekonomi global.
Meningkatkan efisiensi
perbankan untuk mengoptimalkan kontribusinya dalam
perekonomian,
dengan tetap memperkuat ketahanan perbankan.Meningkatkan efisiensi, kehandalan,
dan keamanan sistem pembayaran, baik dalam sistem
pembayaran nasional maupun hubungan sistem pembayaran dengan luar negeri.Memperkuat
ketahanan makro dengan memantapkan koordinasi dalam manajemen pencegahan dan
penanganan krisis (PMK).Mendukung pemberdayaan sektor riil termasuk melanjutkan
upaya perluasan akses perbankan (financial inclusion) kepada masyarakat.Harapan dari berbagai kebijakan yang diambil oleh bank
Indonesia adalah pada dasarnya untukmeningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan
ekonomi suatu negara,salah satunya adalah penetapan ITF adalah untuk memberikan
gambaran tentang prediksi sasaran Inflasi di masa yang akan datang.Sehingga
masyarakat dapat mempersiapkan perekonomian masing-masing dalam menghadapi
kondisi perekonomian di masa satu atau dua tahun mendatang.
0 komentar